Usulan Strategi Adopsi Cloud Computing menggunakan Framework Faith Simba berdasarkan Budaya Rumah Sakit di Kota Bandung

Abstrak
Perkembangan pelayanan Rumah Sakit (RS) yang berkembang pesat mengakibatkan kompetisi sesama rumah sakit menjadi semakin ketat. Biaya operasional harus dihemat dengan cermat agar rumah sakit tetap kompetitif. Biaya operasional tersebut dapat dikendalikan dengan mudah apabila RS menerapkan Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS). Saat ini layanan Cloud Computing menjanjikan peningkatan pelayanan kepada seluruh stakeholder termasuk penghematan biaya yang merubah Capital Expense (CaPex) menjadi Operational Expense (OpEx).
Permasalahannya adalah seberapa siap RS mengadopsi layanan cloud computing tersebut? Apakah ada pengaruh budaya organisasi terhadap pendekatan adopsi cloud computing untuk SIRS ?

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan strategi adopsi cloud computing untuk SIRS dengan memperhatikan budaya organisasi RS (budaya RS). Penelitian difokuskan pada penilaian budaya RS dengan menggunakan kuesioner OCAI dan Competing Value Framework. Budaya RS akan diteliti untuk melakukan pendekatan yang tepat pada proses adopsi cloud computing.

Penelitian dilakukan di beberapa RS kota Bandung dengan kesimpulan bahwa sebagian besar mempunyai budaya Clan, dan cenderung untuk mempertahankan budaya tersebut dimasa datang.
Budaya Organisasi Clan mempunyai karakteristik bahwa RS sebagai suatu keluarga besar, dimana Direktur RS bertindak sebagai mentor dan memiliki figur sebagai orangtua. Hal tersebut berkaitan erat dengan proses pengambilan keputusan sebuah inovasi yang akan berpusat pada keputusan Direktur RS serta menjunjung kesetiaan dan tradisi RS, yang menjadi karakteristik budaya clan.

Kata kunci : Cloud Computing; Budaya Organisasi; Hospital Information System;.

1. Pendahuluan

Rumah Sakit (RS) merupakan institusi pelayanan kesehatan yang cukup kompleks, karena berbagai bisnis proses ada didalamnya. RS harus mengelola Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimilikinya, mengelola pasien, menjadwalkan operasi, mengelola pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan lain sebagainya. Demikian kompleksnya pengelolaan RS, maka dukungan sistem informasi menjadi prioritas untuk menjaga kinerja RS tetap prima.
Perkembangan pelayanan Rumah Sakit (RS) terus berkembang pesat, sehingga menimbulkan kompetisi sesama RS untuk terus meningkatkan layanan tidak hanya kepada pasien sebagai konsumen tetapi pada seluruh stakeholder RS. Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Kesehatannya juga berupaya untuk terus meningkatkan pelayanan kesehatan bagi rakyat Indonesia melalui Sistem Jaminan Sosial Nasional [2] yang mulai diimplementasikan pada tahun 2014.

Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) merupakan amanat UUD 1945 yang mewajibkan negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu, sesuai dengan martabat kemanusiaan. Program ini akan diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang merupakan penyatuan dari beberapa BUMN yang ditunjuk, yaitu PT. Jamsostek, PT. Askes, PT. Taspen, dan PT. Asabri. Dalam penyelenggaraannya, BPJS terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Melalui penerapan SJSN tersebut, RS harus melakukan efisiensi dan menghitung ulang seluruh biaya produksinya agar mampu memberikan pelayanan yang maksimal dengan biaya yang efisien. Efisiensi biaya tersebut salah satunya adalah dengan menerapkan Sistem Informasi RS (SIRS) berbasis Cloud Computing yang akan merubah CapEx (Capital Expenditure) menjadi OpEx (Operational Expenditure), sehingga pembebanan biaya dapat lebih terkendali.

Permasalahan SIRS telah disadari oleh Pemerintah RI khususnya KEMENKES RI yang menyampaikannya dalam Rencana Strategis KEMENKES 2010-2014 [5] bahwa “Sistem informasi kesehatan menjadi lemah setelah diterapkan kebijakan desentralisasi. Proses desentralisasi yang belum optimal berpotensi menimbulkan masalah pada buruknya pelayanan kesehatan yang diberikan bagi masyarakat. Permasalahan tersebut diantaranya adalah masalah pembiayaan khususnya untuk kegiatan dan biaya operasional, dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan dasar yang masih minim.”

Cloud Computing merupakan layanan baru yang belum tersosialisasi dengan baik. Dengan demikian layanan ini walaupun menjanjikan efisiensi biaya, namun masih menjadi perdebatan para penggunanya, terutama masalah keamanan data. Banyak calon pengguna khawatir data penting mereka hilang atau dicuri oleh pengguna yang tidak berhak. Oleh karena itu adopsi cloud computing perlu penanganan dan strategi yang tepat sesuai dengan budaya dan karakter dari calon adopternya.

Fokus dalam penelitian ini adalah bagaimana menetapkan model menerapkan strategi adopsi Cloud Computing untuk SIRS berdasarkan budaya RS. Rumusan masalah yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Apa budaya organisasi pada RS di kota Bandung pada umumnya ?
  2. Bagaimana menerapkan strategi adopsi Cloud Computing untuk SIRS berdasarkan budaya RS?
  3. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui bagaimana penerapan adopsi Cloud Computing untuk SIRS menggunakan framework Faith Simba berdasarkan budaya RS yang dilakukan pada studi kasus di Rumah Sakit Kota Bandung. Diharapkan model tersebut dapat digunakan sebagai acuan oleh RS dalam melakukan adopsi cloud computing untuk SIRS sesuai dengan budaya organisasinya.

Mengingat akan meluasnya permasalahan yang diteliti maka penelitian ini akan dibatasi dengan batasan sebagai berikut:

  1. Model adopsi cloud computing untuk SIRS yang diusulkan akan diuji melalui data yang diperoleh dengan alat bantu kuesioner dari RS di kota Bandung.
  2. Kelompok responden dalam penelitian ini adalah manajemen RS yang terdiri dari jajaran manajemen RS, staf administrasi, dokter, perawat dan staf sistem informasi.
  3. Pengolahan data akan menggunakan aplikasi perangkat lunak Microsoft Excel 2010.

2. Budaya Organisasi

Budaya organisasi dapat diketahui dengan berbagai instrumen, salah satunya adalah Competing Value Framework. Budaya organisasi saat ini dan harapan dimasa depan dapat diketahui dengan data kuesioner yang salah satunya adalah format kuesioner Organizational Culture Assessment Instrument.

Aspek penting dari aplikasi pelayanan kesehatan elektronik tidak akan hanya ketersediaannya dimana-mana, tetapi juga kemampuan untuk diintegrasikan ke dalam dinamika sosial berkaitan dengan perbedaan budaya dan preferensi individu. Mereka harus dapat digunakan oleh sekelompok pengguna yang beragam. Pengguna umumnya berharap dapat menggunakan software aplikasi dengan interface yang menarik dan estetik. Merancang aplikasi dengan memperhatikan persyaratan hedonis dapat mengubah persepsi pengguna dari kewajiban menjadi keinginan [4].
Aplikasi pelayanan kesehatan yang mengajarkan pengguna muda dengan gaya hidup sehat dan lebih mobile pasti akan mengubah cara masyarakat memandang dirinya pada nilai-nilai yang dihasilkan, bukan dengan paksaan tetapi dengan daya tarik. Pendekatan holistik untuk pengembangan aplikasi pelayanan kesehatan elektronik diperlukan untuk menciptakan solusi berkelanjutan untuk tantangan global abad mendatang [4].

3. Competing Value Framework

Competing Value Framework [3] merupakan salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk mengetahui budaya suatu organisasi. Framework ini berguna dalam membantu menginterpretasikan fenomena organisasi yang bermacam-macam jenisnya. Dalam framework ini dinyatakan dua dimensi yaitu dimensi pertama membedakan kriteria efektivitas yang mengutamakan fleksibilitas, kebebasan dalam memilih, dan dinamika, dari kriteria yang mengutamakan pada stabilitas, perintah, dan pengendalian. Sedangkan dimensi kedua membedakan kriteria efektivitas yang mengutamakan orientasi internal, integrasi, dan kesatuan, dari kriteria yang mengutamakan orientasi eksternal, diferensiasi, dan persaingan.

Kedua dimensi ini bersama-sama membentuk empat kuadran, yang mana setiap kuadran menggambarkan perbedaan indikator-indikator  efektivitas organisasi. Keempat kelompok ini dapat memberikan [3] :

  1. Gambaran penilaian orang tentang kinerja organisasi,
  2. Definisi apa-apa yang tampak baik dan benar dan tepat,
  3. Definisi nilai inti untuk melakukan penilaian organisasi.

Keempat nilai inti ini menyatakan asumsi-asumsi yang saling berlawanan. Setiap bagian menekankan/menggarisbawahi sebuah nilai inti yang berlawanan dengan sebuah nilai inti lainnya pada bagian lainnya – dalam hal ini internal dengan eksternal dan fleksibilitas dengan stabilitas. Dengan demikian, dimensi-dimensi ini membentuk kuadran-kuadran yang saling berlawanan atau bersaing pada bagian diagonalnya. Gambar 1. Competing Value Framework [3] memperlihatkan kuadran-kuadran yang dihasilkan dari kedua dimensi tersebut.

Kelompok budaya organisasi berdasarkan Competing Value Framework

  1. Budaya Clan

Merupakan sebuah tempat kerja yang bersahabat dimana orang-orang saling berbagi diantara mereka, seperti sebuah keluarga besar. Pimpinan bertindak sebagai mentor, dan memiliki figur sebagai orang tua. Organisasi ini terikat oleh kesetiaan dan tradisi, serta komitmen yang tinggi. Organisasi menitikberatkan pada manfaat jangka panjang dari pengembangan sumberdaya manusia dan mengutamakan pentingnya keutuhan dan moral. Keberhasilan/sukses didefinisikan dengan sensitivi-tas/kepekaan terhadap konsumen dan penghargaan terhadap manusia. Organisasi sangat mementingkan teamwork, peran serta, dan konsensus.

Gambar 1. Competing Value Framework [3]

  1. Budaya Adhocracy

Sebuah tempat kerja yang dinamis, bersifat entrepreneur, dan kreatif. Orang-orang bekerja keras dan berani mengambil resiko. Para pimpinan bertindak sebagai innovator dan pengambil resiko. Yang mengikat organisasi ini adalah komitmen untuk bereksperimen dan berinovasi. Titik beratnya adalah menjadi yang terdepan. Titik berat jangka panjang organisasi adalah pada pertumbuhan dan mendapatkan sumberdaya baru. Keberhasilan berarti mendapatkan produk-produk atau layanan-layanan yang unik dan baru. Menjadi yang terdepan dalam produk atau layanan adalah hal yang penting. Organisasi ini mendukung/mendorong inisiatif dan kebebasan individu.

  1. Budaya Hierarchy

Sebuah tempat kerja yang sangat formal dan terstruktur. Prosedur-prosedur mengatur apa yang harus dikerjakan. Para pimpinan membanggakan dirinya sebagai koordinator dan pengatur yang baik yang mengutamakan efisiensi kerja. Menjaga /merawat organisasi yang berjalan baik adalah hal yang paling kritis. Aturan-aturan dan kebijakan-kebijakan formal mempersatukan organisasi. Perhatian jangka panjang adalah pada stabilitas dan kinerja yang efisien dan berjalan mulus. Keberhasilan didefinisikan dalam hal penyampaian/ pengiriman hasil yang dapat diandalkan, penjadwalan yang baik, dan biaya yang rendah.

  1. Budaya Market

Sebuah organisasi yang berorientasi pada hasil/pencapaian dengan fokus utamanya adalah menyelesaikan pekerjaan. Orang-orang bersaing dan berorientasi pada tujuan. Para pimpinan adalah penggerak yang kuat, produser, dan pesaing. Mereka adalah orang-orang yang tangguh dan sangat menuntut. Yang mengikat organisasi adalah mementingkan kemenangan. Reputasi dan keberhasilan adalah hal-hal yang umum. fokus jangka panjangnya adalah kegiatan-kegiatan yang kompetitif dan pencapaian tujuan dan target. Keberhasilan didefinisikan dalam hal pangsa pasar (market share) dan penetrasi. Harga yang bersaing dan unggul di pasaran (market leader) adalah hal yang penting. Gaya organisasi ini adalah dorongan yang kuat untuk berkompetisi.

4. Organizational Culture Assessment Instrument (OCAI)
Tujuan OCAI adalah untuk menilai enam dimensi kunci budaya organisasi. Instrumen ini berbentuk sebuah kuesioner yang memerlukan tanggapan dari responden cukup dengan memberikan enam pertanyaan. Instrumen ini terbukti bermanfaat dan akurat dalam mendiagnosa aspek-aspek penting organisasi yang berkenaan dengan budaya. Tujuan dari instrumen ini adalah untuk mengidentifikasi budaya organisasi saat ini, dan membantu mengidentifikasi pemikiran dari anggota organisasi mengenai budaya yang seharusnya dikembangkan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan lingkungan dimasa yang akan datang dan tantangan yang dihadapi perusahaan [3].
Instrumen ini terdiri dari enam pertanyaan yang berkaitan dengan karakteristik dominan (Dominant characteristic), Kepemimpinan (Organizational leadership), Manejemen Pegawai (Management of employees), Perekat Organisasi (Organizational glue), Penekanan Strategis (Strategic emphasis), dan Kriteria untuk mencapai Sukses (Chriteria for success). Setiap pertanyaan memiliki empat alternatif jawaban. Setiap responden diminta memberikan penilaian pada setiap alternatif jawaban. Penilaian tertinggi diberikan kepada alternatif jawaban yang paling menyerupai keadaan organisasi tempatnya berada. Untuk menentukan organisasi mana yang akan diberi penilaian, setiap responden memikirkan organisasi yang dipimpin oleh pimpinannya, Sistem Bisnis Unit (SBU), atau unit organisasi tempatnya bekerja yang memiliki batasan-batasan yang jelas. Instrumen ini melakukan penilaian terhadap keadaan organisasi saat ini, dan keadaan organisasi yang diharapkan lima tahun mendatang untuk mencapai keberhasilan. Berdasarkan hasil penilaian akan didapatkan suatu profil organisasi. Profil organisasi yang telah diperoleh akan menggambarkan budaya yang mendominasi organisasi [3].

5. Budaya RS
Setelah data kuesioner terkumpul kembali, penulis mencoba mengolah data dari seluruh RS untuk mengetahui budaya masing masing RS. Pengolahan data menggunakan Microsoft Excel, dan menghasilkan informasi sebagai berikut:

5.1. RS Advent Bandung
RS Advent adalah RS Umum Kelas B milik Yayasan RS Advent yang merupakan organisasi sosial. Data kuesioner yang kembali adalah 18 kuesioner dari 18 kuesioner yang dibagikan. Data yang kembali berasal dari kelompok manajemen: 4 orang, administrasi: 4 orang, dokter: 4 orang, perawat: 4 orang, dan dari kelompok staf sistem informasi 2 orang.

Budaya RS saat ini, kelompok manajemen, administrasi, dan dokter menyatakan budaya clan, sedangkan kelompok perawat dan sistem informasi menyatakan budaya hierarchy. Diperoleh nilai rata rata dari seluruh kelompok tersebut, menyatakan bahwa budaya RS Advent saat ini adalah budaya Clan.
Hasil pengolahan data budaya organisasi yang diharapkan RS Advent menyatakan bahwa setiap kelompok mengharapkan perubahan budaya organisasi, kecuali kelompok administrasi yang tetap memilih budaya clan. Kelompok Manajemen, Dokter dan Perawat mengharapkan perubahan kepada budaya market dan kelompok sistem informasi mengharapkan perubahan kepada budaya clan. Diperoleh nilai rata rata akhir yang menyatakan bahwa budaya organisasi yang diharapkan RS Advent adalah budaya Market.

5.2. RS Sariningsih Bandung
RS Sariningsih adalah RS Umum kelas D milik KESDAM III/Siliwangi. Data kuesioner yang kembali adalah 9 kuesioner dari 15 kuesioner yang dibagikan. Data yang kembali berasal dari kelompok manajemen: 2 orang, administrasi: 2 orang, dokter: 2 orang, perawat: 3 orang, tanpa data dari kelompok staf sistem informasi.
Hasil pengolahan data budaya organisasi yang diharapkan RS Sariningsih menyatakan bahwa setiap kelompok tidak mengharapkan perubahan budaya organisasi. Kelompok Manajemen dan Administrasi tetap memilih budaya clan dan kelompok dokter dan perawat tetap memilih budaya hierarchy, tetapi bobotnya lebih menguat pada budaya clan. Diperoleh nilai rata rata akhir yang menyatakan bahwa budaya organisasi yang diharapkan RS Sariningsih adalah budaya clan.

5.3. RS Al Islam Bandung
RS Al Islam adalah RS Umum kelas B milik Yayasan RSI KSWI Jabar. Data kuesioner yang kembali adalah 15 kuesioner dari 15 kuesioner yang dibagikan. Data yang kembali berasal dari kelompok manajemen: 3 orang, administrasi: 3 orang, dokter: 3 orang, perawat: 3 orang, dan 3 orang dari kelompok staf sistem informasi.
Budaya RS saat ini, kelompok manajemen dan dokter menyatakan budaya hierarchy, sedangkan kelompok administrasi, perawat dan sistem informasi menyatakan budaya clan. Diperoleh nilai rata rata dari seluruh kelompok tersebut, menyatakan bahwa budaya RS Al Islam saat ini adalah budaya Clan.

Hasil pengolahan data budaya organisasi yang diharapkan RS Al Islam menyatakan bahwa setiap kelompok tidak mengharapkan perubahan budaya organisasi, mereka cukup nyaman dengan budaya organisasi saat ini. Diperoleh nilai rata rata akhir yang menyatakan bahwa budaya organisasi yang diharapkan RS Al Islam tetap pada budaya Clan.

5.4. RS Swasta “X” Bandung
RS Swasta “X” (atas permintaan RS untuk tidak disebutkan nama RS nya) adalah RS Umum kelas B milik Swasta. Data kuesioner yang kembali adalah 7 kuesioner dari 15 kuesioner yang dibagikan. Data yang kembali berasal dari kelompok manajemen: 1 orang, administrasi: 3 orang, perawat: 3 orang, tanpa data dari kelompok dokter dan staf sistem informasi.
Budaya RS saat ini, kelompok manajemen dan administrasi menyatakan budaya clan, sedangkan kelompok perawat menyatakan budaya market. Diperoleh nilai rata rata dari seluruh kelompok tersebut, menyatakan bahwa budaya RS Swasta “X” saat ini adalah budaya Clan.

Hasil pengolahan data budaya organisasi yang diharapkan RS Swasta “X” menyatakan bahwa setiap kelompok tidak mengharapkan perubahan budaya organisasi, mereka cukup nyaman dengan budaya organisasi saat ini. Diperoleh nilai rata rata akhir yang menyatakan bahwa budaya organisasi yang diharapkan RS Swasta “X” tetap pada budaya Clan.


Gambar 2. Budaya RS di Bandung

6. Usulan Strategi adopsi menggunakan framework Faith Simba

Apabila akan diterapkan pada framework adopsi yang diusulkan oleh Faith Simba [1] dengan konsep ROCCA maka akan diperoleh pendekatan sebagai berikut:

  1. Fase Analisis
    • Analisis SWOT/PESTLE; terhadap berbagai aspek yang berkaitan dengan faktor internal dan eksternal dalam adopsi cloud computing.
    • Analisis Keamanan, Hukum, dan Kepatuhan layanan cloud harus dicermati dan dapat melihat atau melakukan studi banding pada RS lain yang telah melakukan adopsi cloud.
    • Seberapa besar Usability dan Accessibility yang diharapkan dengan tetap memperhatikan budaya kebersamaan, tradisi, komitmen dan peran serta yang telah terbentuk di RS.
    • Secara organisasi RS perlu menganalisa kesiapan, seberapa siap melakukan adopsi dengan pendekatan Direktur RS tetap sebagai figur orang tua, dan peran serta SDM RS tetap terpelihara.
    • Analisis dampak organisasional lainnya; Perlu disiapkan antisipasi terhadap dampak dari hadirnya penyedia layanan dan budaya baru cloud computing dengan tradisi, komitmen dan konsensus organisasi yang telah terbentuk.
  2. Fase Perencanaan
    • Benchmarking dengan RS lainnya yang telah menggunakan layanan cloud. Perhatikan tidak hanya sisi positifnya saja, tetapi juga sisi negatifnya juga.
    • Pilih infrastruktur Cloud yang sesuai dengan kebutuhan RS apakah layanan IaaS, PaaS, SaaS atau layanan lainnya.
    • Perencanaan Keuangan; Anggarkan biaya layanan cloud, karena layanan cloud akan lebih banyak menerapkan biaya operasional dibanding biaya investasi.
    • Perencanaan Keamanan, Hukum, dan Kepatuhan; Pastikan keamanan data, regulasi hukum dan kepatuhan pada layanan cloud sudah disiapkan dengan matang dengan tetap memperhatikan budaya organisasi clan yang menjaga tradisi, kebersamaan, peran serta dan penghargaan pada manusia.
    • Perencanaan Adopsi dan Migrasi; Perencanaan adopsi dan migrasi, harus disiapkan dengan memperhatikan kepentingan teamwork dan konsensus yang telah ada di RS.
  3. Fase Adopsi
    • Aplikasi dan integrasi data; RS perlu mempertimbangkan kemampuan integrasi layanan cloud computing dengan infrastruktur TI dan aplikasi yang telah dimiliki RS. Hal ini akan menghemat biaya, mempercepat waktu implementasi dan menjaga tradisi serta peran serta manajemen RS.
    • RS perlu mengkaji regulasi hukum tentang outsourcing, dan pelaksanaannya berkaitan dengan tetap terjaganya peran serta SDM RS.
    • Kesepakatan tingkat layanan (SLA) yang akan diberikan penyedia layanan cloud harus diperhatikan dan disepakati bersama. Jika diperlukan modifikasi untuk mengantisipasi kebijakan yang ada dan akan dikembangkan, harus disertakan dalam SLA tersebut.
    • Perjanjian pemanfaatan layanan cloud harus dituangkan dalam kontrak kerja yang sah dan tunduk pada regulasi hukum yang berlaku.
  4. Fase Migrasi
    • Melaksanakan rencana adopsi; Pastikan adopsi sesuai dengan rencana yang telah dibuat.
    • Aplikasi dan migrasi data; Pastikan aplikasi dan data yang telah dimiliki dapat dimigrasikan dengan baik. Hal ini untuk menjaga peran serta sumber daya manusia RS yang selama ini diberikan/dilakukan tidak disia-siakan.
    • Support; Dukungan dari penyedia layanan harus diperhatikan agar pada fase migrasi tidak menggangu layanan pada pasien.
    • Monitor dan Control; Proses migrasi harus dimonitor dan dikendalikan dengan baik oleh staf/tim RS yang ditunjuk, untuk memastikan proses migrasi berjalan dengan baik
  5. Fase Manajemen
    • Mengelola kontrak dengan service provider; Kontrak dengan penyedia layanan harus terus dikelola, terutama kaitannya dengan pengembangan akibat perubahan regulasi dan kebijakan RS dalam meningkatkan layanannya pada konsumen.
    • Dokumentasikan best practice dan pelajaran yang diperoleh; Setiap kegiatan harus dibuat dokumentasinya, agar dapat menjadi knowledge base bagi pelaksanaan berikutnya.
    • Technical support tidak hanya diperlukan dari penyedia layanan, tetapi juga harus dipastikan bahwa staf RS yang ditunjuk juga mampu melakukannya. Hal ini diperlukan agar tingkat ketergantungan pada penyedia layanan tidak terlalu tinggi dan fungsi peran serta SDM RS tetap terjaga.
    • Secara berkala perlu dilakukan review dan pemeliharaan, agar sistem tetap terjaga dengan baik. Proses review harus memperhatikan budaya kebersamaan yang selalu terjaga dan layanan kepada pasien tetap prima.

7. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan, sebagai berikut:

  1. Budaya RS di kota Bandung, umumnya Clan dan RS berharap budaya tersebut tetap dipertahankan.
  2. Model Adopsi Cloud Computing untuk SIRS dapat diterapkan pada framework Faith Simba.

8. Saran

Mengingat keterbatasan waktu pada penelitian ini, penulis menyarankan penelitian lanjutan tentang:

  1. Pengaruh elemen manajemen RS terhadap elemen budaya organisasi, agar dapat diketahui elemen manajemen RS yang mana yang berpengaruh secara signifikan terhadap elemen budaya organisasi.
  2. Penelitian lebih dalam tentang hubungan antara kategori adopter dengan budaya organisasi, sehingga dapat dipastikan setiap kategory adopter kaitannya dengan berbagai budaya organisasi untuk dapat mengetahui pendekatan adopsi yang tepat.

Daftar Pustaka:

  1. Shimba, F., 2010, Cloud Computing: Strategies for Cloud Computing Adoption., Dublin, Dublin Institute of Technology.
  2. SETNEG RI, 2004, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Jakarta
  3. Ken Peffers, Tuure Tuunanen, ett.all, 2008, A Design Science Research Methodology for Information Systems Research
  4. Firat Alagöz, André Calero Valdez, ett.all, 2010, From Cloud Computing to Mobile Internet, From User Focus to Culture and Hedonism The Crucible of Mobile Health Care and Wellness Applications Human Technology Centre, RWTH Aachen University, Aachen, Germany, Research Unit HCI4MED, Institute of Medical Informatics, Medical University Graz, Austria
  5. KEMENKES RI, 2010, Rencana Strategis KEMENKES 201